Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia

Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak terjadi dalam satu masa yang singkat, tetapi mengalami proses pertumbuhan ber-abad-abad lamanya. Agaknya terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Kalau  di teliti dengan benar bahasa Melayu Riau hanyalah merupakan satu dialek di antara sekian banyak dialek-dialek Melayu yang lain. Dan di atas semua ini sudah terkenal di seluruh Nusantara suatu bahasa perhubungan, suatu lingua franca, yang disebut Melayu Pasar. Melayu Pasar inilah yang merupakan faktor yang paling penting untuk diterimanya Melayu Riau sebagai baha­sa pengantar di sekolah-sekolah. Seandainya orang belum mengenal Me­layu Pasar, tentulah sama sulitnya pula menerima Melayu Riau menjadi bahasa pengantar, seperti halnya dengan bahasa Jawa.
Untuk mengikuti pertumbuhan bahasa Indonesia dari awal mula terdapatnya fakta-fakta historis hingga sekarang, marilah kita be­berapa lihat periode perkembangan bahasa Indonesia dari masa-kemasa

Sebelum Masa Kolonial

Walaupun bukti-bukti tertulis masih sangat kurang, namun dapat dipastikan bahwa bahasa yang dipakai oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah Bahasa Melayu.
Bukti-bukti tertulis pertama mengenai bahasa Melayu itu diketemukan di dalam prasasti-prasasti sekitar tahun 680 M. Di Sumatra pada awal ke­rajaan Sriwijaya yaitu: di Kadukan Bukit berangka tahun 683, di Talang Tuwo (di dekat Palembang) berangka tahun 684, di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686, serta di Karang Brahi (antara Jambi dan Su-ngai Musi) berangka tahun 688. Lebih dari itu belum diketemukan bukti-bukti tertulis lainnya.
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan maritim yang memiliki armada perkapalan untuk perdagangan. Orang-orangnya menjelajah seluruh pelosok tanah air, serta di mana-mana memperkenalkan bahasa Melayu untuk mempermudah hubungan dagang dengan semua penduduk Nusantara. Bukti-bukti tertulis untuk itu sulit diketemukan, kecuali satu yaitu di Pulau Jawa di daerah Kedu. Di situ ditemukan sebuah prasasti yang terkenal dengan nama Inskripsi Gandasuli dan berasal dari tahun 832. Berdasarkan penelitian Dr. J.G. de Casparis dinyatakan bahwa bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno. Inilah merupakan satu-satunya bukti tertulis tentang luasnya penyebaran dan pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu.
Walaupun bukti tertulis hampir tak ada, tetapi dengan adanya bermacam-macam dialek Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara seperti dialek Melayu Ambon, Larantuka, Kupang, Jakarta, Menado, dan se-bagainya, dapatlah dipastikan adanya penyebaran yang luas itu.
Dalam kesusasteraan Tiongkok terdapat berita-berita yang menceriterakan tentang musafir-musafir Tiongkok yang bertahun-tahun tinggal di kota-kota Indonesia. Mereka itu mempergunakan bahasa anak negeri yang disebut Kwu'un Lun. I Tsing yang belajar di Sriwijaya pada akhir abad VII mempergunakan juga bahasa itu. Mengingat adanya prasasti-prasasti sebagai tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa Kwu'un Lun tersebut tidak lain dari Bahasa Melayu Kuno.
Beberapa abad kemudian, pada tahun 1356, kita temukan lagi suatu peninggalan yang cukup berarti, yaitu prasasti, bahasanya berbentuk prosa diselingi puisi. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Melayu pada waktu itu tidak saja sebagai alat dalam pergaulan sehari-hari, tetapi sudah dipakai pula dalam bentuk ceritera yang panjang-panjang.
Begitu pula dari tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, terdapat suatu batu nisan yang berisi suatu model syair tertua. Sesudah tahun ini, antara abad XIV-XVII kita dapati banyak hasil kesusasteraan lama dalam bentuk pelipur lara, hikayat, dongeng-dongeng dan sebagainya. Tentu semuanya ini memerlukan masa perkembangan. Dalam fase perkembangan itu, baik ba­hasa maupun isi ceriteranya menerima unsur-unsur dari luar untuk memperkaya dirinya, yaitu dari bahasa Sansekerta dengan unsur-unsur Hindunya, dan dari Bahasa-Arab-Persia dengan unsur-unsur Islamnya.

Masa Kolonial

Ketika orang-orang Barat sampai di Indonesia pada abad XVI, mereka menghadapi suatu kenyataan, ialah bahasa Melayu merupakan suatu ba­hasa resmi dalam pergaulan, bahasa perantara dalam perdagangan. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan berikut: seorang Portugis bernama Pigafetta, setelah mengunjungi Tidore, menyusun semacam daftar kata-kata pada tahun 1522; berarti sebelum itu bahasa Melayu sudah tersebar sampai ke kepulauan Maluku.
Baik bangsa Portugis maupun bangsa Belanda yang datang ke mari mendirikan sekolah-sekolah. Mereka terbentur dalam soal bahasa pengantar. Usaha-usaha untuk memakai bahasa Portugis atau Belanda sebagai bahasa pengantar selalu mengalami kegagalan. Demikianlah pengakuan seorang Belanda yang bernama Danckaerts dalam tahun 1631. Ia mengatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Kegagalan dalam usaha memakai bahasa-bahasa Barat memuncak dengan keluarnya suatu keputusan dari Pemerintah kolonial, K.B. 1871 No. 104, yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.

Pergerakan Kebangsaan

Dengan timbulnya pergerakan kebangsaan terasa perlu adanya suatu bahasa nasional untuk mengikat bermacam-macam suku bangsa di Indo­nesia. Pergerakan yang besar dan hebat hanya dapat berhasil kalau se-mua rakyat diikut-sertakan. Untuk itu mereka mencahari bahasa yang dapat dipahami dan dipakai oleh semua orang.
Pada mulanya memang agak sulit untuk menentukan bahasa mana akan menjadi bahasa persatuan itu. Tiap daerah tampaknya lebih suka mempergunakan bahasanya sendiri. Budi Utomo misalnya lebih menekan kebudayaan dan bahasa Jawa. Tiap perhimpunan pemuda, apakah dia Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon, lebih suka memperguna­kan bahasa Daerahnya sendiri. Hal-hal semacam ini dirasakan sangat menghambat persatuan dan kesatuan yang hendak dicapai.
Dalam tahun 1908 oleh pemerintah kolonial didirikan suatu komisi yang disebut Comissie voorde Volkslectuur, diketuai oleh Dr. G.A.J. Ha-zeu. Kemudian komisi ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka dalam tahun 1917. Kegiatan badan ini membantu penyebaran dan pendalaman bahasa Melayu karena menerbitkan buku-buku murah berbahasa Me­layu. Pada tahun 1918, tanggal 25 Juni, dengan ketetapan Raja Belanda, anggota-anggota Dewan Rakyat diberi kebebasan untuk memperguna­kan bahasa Melayu dalam Volksraad. Kesempatan ini kemudian ternyata tidak digunakan semestinya.
Mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan berbagai suku bangsa di Indonesia, maka pada tahun 1926 Jong Java merasa perlu mengakui suatu bahasa Daerah sebagai media penghubung semua pemuda-pemudi Indonesia. Bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa pengantara. Pemuda-pemuda di Sumatra sudah lebih dulu menyatakan dengan tegas hasrat mereka agar bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa persatuan. Da­lam kongres II Jong Sumatra misalnya, mereka dengan tegas memutuskan untuk memakai bahasa Melayu Riau, yang disebut juga Melayu Tinggi, sebagai bahasa persatuan. Walaupun dengan adanya hasrat yang tegas ini, sebagaian majalah-majalah Jong Java dan Jong Sumatranen bond masih ditulis dalam bahasa Belanda.
Dengan adanya bermacam-macam faktor sebagaimana yang telah disebut, akhirnya tibalah pada 28 oktober 1928, Kongres Pemuda Indonesia di Jakarta .sebagai hasil yang paling gemilang dari kongres itu di adakan ikrar bersama yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda :

Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu - Tanah Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia bebangsa yang satu- Bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan- Bahasa Indonesia
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Leave a comment